Selasa, 18 September 2007

tanggung jawab

"Wahai segenap orang yang beriman;peliharalah dirimu dan keluargamu dari bahaya api neraka (Q.S. Attahrin 6)
ayat diatas menerangkan pada kita agar menjaga diri kita dan keluarga kita darri bahaya api neraka dan disini lah tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya baik secara langsung maupun tidak langsung. dan bagi orang tua berhak mengajarkan anak dan istrinya bagaimana cara mengabdi kepada Allah dan menjaukan larangannyn.
sebagaimana Nabi Muhammad saw. pernah menyatakan:
dari ibnu umar ra berkata, aku mendengar rasulullah bersabdah, kamu semua pengembala dan bertanggung jawab atas yang digembalanya. seorang pemimpin adalah pengembala dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. orang laki-laki (orang tua) juga merrupakan pengembala dilingkungan keluarganya, dan bertanggung jawab atas yang digembalanya (anggota keluarganya)
kaidah islam yang berkaitan dengn nilai dalam pendidikan

nilai kejujuran dalam surat At-Taubah ayat 119 yang berbunyi:
"Hai orang -orang yang berimanbertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar"
ayat diatas menerangkan tentang salah satu cara unutk menjadi orang yang jujur adalah dengan cara bergaul dengan orang yang benar. oleh karena itu kita harus pandai - pandai memeilih oarang yang kita jadikan teman dalam bergaulan kita sehari-hari bila kita bergaul dengan orang yang baik maka kita akan baik pula dan apabila kita bergaul dengan oarng yang jahat maka kita akan keturarang atau terkana hambas jahat pula.
dalam hadist Nabi muahammad bersabdah saya dapat menjamin suatu rumah dikebun surga bagi oarang yang meninggalkan perdebatan meskipin ia benar dan menjamin suatu rumah dipertengahan surga bagi oarang yang tidak berdusta meskipun bergurau dan menjamin suatu rumah di bagian tertinggi dari surga bagi orang baik budi pekertinya.

Untuk membangun kejujuran, ongkos juga sangat mahal ketika budaya kejujuran telah hilang atau menipis. Karena mahalnya hal itu, ketika kejujuran tersebut ditegakkan menjadi pahit rasanya. Rasulullah SAW bersabda, ''Qulil haqqa walau kaana murran'', artinya ''Katakanlah kebenaran, meskipun itu pahit.''

Kejujuran merupakan kunci dari amanat. Dalam Alquran sekurang-kurangnya ada enam tempat menyebut soal amanah. Pertama, Allah menyerahkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung. Mereka menolak karena khawatir mengkhianatinya. Lalu manusialah yang memikulnya karena kezaliman dan kebodohannya (QS al-Ahzab, 33:72).

Kedua, dalam konteks transaksi perdagangan. ''Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaktian (al-Baqarah, 2:283).''

Ketiga, dalam konteks kepemimpinan, ''Allah memerintahkan kepada kamu untuk menunaikan amanat kepada mereka yang berhak dan memutuskan hukum di antara manusia secara adil'' (An-Nisa', 4: 58). Kata an tahkumu pada ayat tersebut artinya memutuskan hukum atau menyelesaikan persoalan adalah salah satu amanat yang harus dilaksanakan dengan adil. Dari kata ini juga muncul kata al-hukumah (pemerintahan/lembaga eksekutif) dan kata mahkamah (peradilan/lembaga yudikatif). Jadi, di pundak pemerintah dan mahkamah, amanat itu dibebankan oleh rakyat, agar mereka mendapatkan keadilan.

Al-Suyuthy dan al-Mahally yang akrab disebut al-Jalalain menegaskan, kepatuhan warga kepada pemerintah dapat dilaksanakan sepanjang mereka menjalankan amanat sesuai dengan rambu-rambu kebenaran. Sejalan dengan perintah Rasulullah SAW riwayat dari Abu Hurairah : ''Dengar dan patuhi mereka sepanjang mereka -dalam menjalankan tugasnya- sejalan dengan kebenaran.''

Keempat, seruan kepada orang yang beriman, hendaknya mereka tidak mengkhianati amanat Allah dan Rasul-Nya (al-Anfal, 8:27). Hal ini karena mereka sering lalai akibat cobaan yang diberikan Allah melalui harta dan anak-anak (8:28).

Kelima dan keenam, orang yang dapat menjaga amanat adalah ciri-ciri atau kriteria orang yang beriman (Al-Mu'minum, 23:8, al-Ma'arij, 70:32). Lawan dari orang yang beriman karena dia berkhianat disebut munafik.

Karena itu, melalui ibadah puasa, Allah menguji keimanan dan kejujuran, agar terbiasa dan dapat menikmati indahnya kejujuran. Puasa membutuhkan disiplin diri dan kesabaran. Jika hal ini bisa dilaksanakan dengan ketulusan, kejujuran merupakan hasil dari ibadah puasa.

Secara fisik meninggalkan makan, minum, dan hubungan seks, serta secara spiritual menahan emosi dan hawa nafsunya sendiri. Karena sesungguhnya lawan yang paling berat adalah dorongan hawa nafsunya sendiri.

Pertanyaannya, apakah puasa mampu mengubah karakter atau watak korup yang sudah membudaya di masyarakat kita. Jawabannya, terpulang kepada para pemimpin terpilih di berbagai tingkatan. Melalui puasa ini, kita berharap ada keteladanan dari atas. Sebuah ungkapan bijak mengatakan ''al-nas 'alaa diini muluukihim'' artinya ''manusia itu (mengikuti) pada ''agama'' pemimpinnya.

Puasa sejatinya adalah meneguhkan orang yang menjalankannya menjadi orang jujur dan amanah. Sampai-sampai ketika orang yang puasa dan jujur itu benar-benar lupa -makan dan minum- diberi kesempatan untuk tidak membatalkan puasanya, karena pada hakikatnya yang memberi makan dan minum adalah Allah. Hal ini karena nilai kejujuran itu ditempatkan pada kedudukan yang tinggi.

Pertama, Jujur dalam kehidupan sehari-hari; merupakan anjuran dari Allah dan Rasulnya. Banyak ayat Al Qur'an menerangkan kedudukan orang-orang jujur antara lain: QS. Ali Imran (3): 15-17, An Nisa' (4): 69, Al Maidah (5): 119. Begitu juga secara gamblang Rasulullah menyatakan dengan sabdanya: "Wajib atas kalian untuk jujur, sebab jujur itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan jalan ke sorga, begitu pula seseorang senantiasa jujur dan memperhatikan kejujuran, sehingga akan termaktub di sisi Allah atas kejujurannya. Sebaliknya, janganlah berdusta, sebab dusta akan mengarah pada kejahatan, dan kejahatan akan membewa ke neraka, seseorang yang senantiasa berdusta, dan memperhatikan kedustaannya, sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta" (HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas'ud)

Kedua, kejujuran dan kebohongan dalam kehidupan politik; ada hadits yang menyatakan dengan tegas bahwa Rasulullah bersabda: "Ada tiga kriteria manusia yang tidak dilihat dan disucikan Allah swt. di hari akherat bahkan bagi mereka adzab yang pedih adalah: Orang sudah tua yang berzina, Pemimpin yang berdusta, dan Orang sombong.

Adapun kebohongan yang diperbolehkan dalam kaitan untuk kegiatan berpolitik, yaitu apabila kebohongan itu bisa meredam keributan sosial agar tidak terjadi perpecahan. Dalam hal ini Rasulullah saw. memberi keringanan seperti dalam hadis dari Ummi Kaltsoum: "Saya tidak mendengar Rasulullah saw. memberi keringanan pada suatu kebohongan kecuali tiga masalah: Seseorang yang membicarakan masalah dengan maksud mengadakan perbaikan (Islah); seseorang membicarakan masalah pada saat konflik perang (agar selamat), dan seseorang yang merayu istrinya begitu juga istri merayu suami.(HR. Muslim) Ada juga hadits yang menyatakan, Rasulullah bersabda: "Bukanlah pendusta orang yang ingin melerai konflik sesama, hingga orang tersebut berkata: semoga baik dan menjadi baik" (HR. Mutafaq Alaih)

Begitulah batas kejujuran dan kebohongan secara dasar yang berkaitan dengan keseharian dan politik. Dan sudah jelas bahwa tujuan dari keduanya adalah untuk sebuah kedamaian.

Namun dalam kaitan politik kontemporer yang lebih pelik lagi dan kompleks, Anda sendiri bisa memilah-milah bagaimana kehidupan politik para penguasa sekarang sangat tidak memperhatikan nilai kejujuran. Namun kita menyadari bahwa sistem negara Islam sendiri juga masih dalam perselisihan hingga sebaiknya yang perlu kita lihat adalah person atau oknum dalam memimpin kepemerintahan tersebut. Selanjutnya kita berdoa agar sistem yang memberi peluang terhadap kebohongan bisa diminimalisir. Dan itu berangkat dari sistem kepribadian kita.