Untuk membangun kejujuran, ongkos juga sangat mahal ketika budaya kejujuran telah hilang atau menipis. Karena mahalnya hal itu, ketika kejujuran tersebut ditegakkan menjadi pahit rasanya. Rasulullah SAW bersabda, ''Qulil haqqa walau kaana murran'', artinya ''Katakanlah kebenaran, meskipun itu pahit.''
Kejujuran merupakan kunci dari amanat. Dalam Alquran sekurang-kurangnya ada enam tempat menyebut soal amanah. Pertama, Allah menyerahkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung. Mereka menolak karena khawatir mengkhianatinya. Lalu manusialah yang memikulnya karena kezaliman dan kebodohannya (QS al-Ahzab, 33:72).
Kedua, dalam konteks transaksi perdagangan. ''Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaktian (al-Baqarah, 2:283).''
Ketiga, dalam konteks kepemimpinan, ''Allah memerintahkan kepada kamu untuk menunaikan amanat kepada mereka yang berhak dan memutuskan hukum di antara manusia secara adil'' (An-Nisa', 4: 58). Kata an tahkumu pada ayat tersebut artinya memutuskan hukum atau menyelesaikan persoalan adalah salah satu amanat yang harus dilaksanakan dengan adil. Dari kata ini juga muncul kata al-hukumah (pemerintahan/lembaga eksekutif) dan kata mahkamah (peradilan/lembaga yudikatif). Jadi, di pundak pemerintah dan mahkamah, amanat itu dibebankan oleh rakyat, agar mereka mendapatkan keadilan.
Al-Suyuthy dan al-Mahally yang akrab disebut al-Jalalain menegaskan, kepatuhan warga kepada pemerintah dapat dilaksanakan sepanjang mereka menjalankan amanat sesuai dengan rambu-rambu kebenaran. Sejalan dengan perintah Rasulullah SAW riwayat dari Abu Hurairah : ''Dengar dan patuhi mereka sepanjang mereka -dalam menjalankan tugasnya- sejalan dengan kebenaran.''
Keempat, seruan kepada orang yang beriman, hendaknya mereka tidak mengkhianati amanat Allah dan Rasul-Nya (al-Anfal, 8:27). Hal ini karena mereka sering lalai akibat cobaan yang diberikan Allah melalui harta dan anak-anak (8:28).
Kelima dan keenam, orang yang dapat menjaga amanat adalah ciri-ciri atau kriteria orang yang beriman (Al-Mu'minum, 23:8, al-Ma'arij, 70:32). Lawan dari orang yang beriman karena dia berkhianat disebut munafik.
Karena itu, melalui ibadah puasa, Allah menguji keimanan dan kejujuran, agar terbiasa dan dapat menikmati indahnya kejujuran. Puasa membutuhkan disiplin diri dan kesabaran. Jika hal ini bisa dilaksanakan dengan ketulusan, kejujuran merupakan hasil dari ibadah puasa.
Secara fisik meninggalkan makan, minum, dan hubungan seks, serta secara spiritual menahan emosi dan hawa nafsunya sendiri. Karena sesungguhnya lawan yang paling berat adalah dorongan hawa nafsunya sendiri.
Pertanyaannya, apakah puasa mampu mengubah karakter atau watak korup yang sudah membudaya di masyarakat kita. Jawabannya, terpulang kepada para pemimpin terpilih di berbagai tingkatan. Melalui puasa ini, kita berharap ada keteladanan dari atas. Sebuah ungkapan bijak mengatakan ''al-nas 'alaa diini muluukihim'' artinya ''manusia itu (mengikuti) pada ''agama'' pemimpinnya.
Puasa sejatinya adalah meneguhkan orang yang menjalankannya menjadi orang jujur dan amanah. Sampai-sampai ketika orang yang puasa dan jujur itu benar-benar lupa -makan dan minum- diberi kesempatan untuk tidak membatalkan puasanya, karena pada hakikatnya yang memberi makan dan minum adalah Allah. Hal ini karena nilai kejujuran itu ditempatkan pada kedudukan yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar